Selasa, 03 Januari 2017

SI KABAYAN

Tersebutlah seorang lelaki di tanah Pasundan pada masa lampau. Si Kabayan namanya. Ia lelaki yang pemalas namun memiliki banyak akal. Banyak akal pula dirinya meski akalnya itu kerap digunakannya untuk mendukung kemalasannya. Si Kabayan telah beristri. Nyi Iteung nama istrinya.
Pada suatu hari Si Kabayan disuruh mertuanya untuk mengambil siput-siput sawah. Si Kabayan melakukannya dengan malas-malasan. Setibanya di sawah, ia tidak segera mengambil siput-siput sawah yang banyak terdapat di sawah itu, melainkan hanya duduk-duduk di pematang sawah.
Lama ditunggu tidak kembali, mertua Si Kabayan pun menyusul ke sawah. Terperanjatlah ia mendapati Si Kabayan hanya duduk di pematang sawah. "Kabayan! Apa yang engkau lakukan? Mengapa engkau tidak segera turun ke sawah dan mengambil tutut-tutut (Siput) itu?"
"Abah-abah (Bapak), aku takut turun ke sawah karena sawah ini sangat dalam. Lihatlah, Bah, begitu dalamnya sawah ini hingga langit pun terlihat di dalamnya," jawab Si Kabayan.
Mertua Si Kabayan menjadi geram. Didorongnya tubuh Si Kabayan hingga menantunya itu terjatuh ke sawah.
Si Kabayan hanya tersenyum-senyum sendiri seolah tidak bersalah. "Ternyata sawah ini dangkal ya, Bah?" katanya dengan senyum menyebalkannya. Ia pun lantas mengambil siput-siput sawah yang banyak terdapat di sawah itu.
Pada hari yang lain mertua Si Kabayan menyuruh Si Kabayan untuk memetik buah nangka yang telah matang. Pohon nangka itu tumbuh di pinggir sungai dan batangnya menjorok di atas sungai. Si Kabayan sesungguhnya malas untuk melakukannya. Hanya setelah mertuanya terlihat marah, Si Kabayan akhirnya menurut. Ia memanjat batang pohon. Dipetiknya satu buah nangka yang telah masak. Sayang, buah nangka itu terjatuh ke sungai. Si Kabayan tidak buru-buru turun ke sungai untuk mengambil buah nangka yang terjatuh. Dibiarkannya buah nangka itu hanyut.
Mertua Si Kabayan terheran-heran melihat Si Kabayan pulang tanpa membawa buah nangka. "Apa yang terjadi?" tanyanya dengan raut wajah jengkel. "Mana buah nangka yang kuperintahkan untuk dipetik?"
Dengan wajah polos seolah tanpa berdosa, Si Kabayan menukas, "Lho? Bukankah buah nangka itu tadi telah kuminta untuk berjalan duluan? Apakah buah nangka itu belum juga tiba?"
"Bagaimana maksudmu, Kabayan?"
"Waktu kupetik, buah nangka itu jatuh ke sungai. Rupanya ia ingin berjalan sendirian. Maka, kubiarkan ia berjalan dan kusebutkan agar ia lekas pulang ke rumah. Kuperingatkan pula agar ia segera membelok ke rumah ini. Dasar nangka tua tak tahu diri, tidak menuruti perintahku pula!"
"Ah, itu hanya alasanmu yang mengada-ada saja, Kabayan!" mertua Si Kabayan bersungut-sungut. "Bilang saja kalau kamu itu malas membawa nangka itu ke rumah!"
Si Kabayan hanya tertawa-tawa meski dimarahi mertuanya.
Pada waktu yang lain mertua Si Kabayan mengajak menantunya yang malas lagi bodoh itu untuk memetik kacang koro di kebun. Mereka membawa karung untuk tempat kacang koro yang mereka petik. Baru beberapa buah kacang koro yang dipetiknya, Si Kabayan telah malas untuk melanjutkannya. Si Kabayan mengantuk. Ia pun lantas tidur di dalam karung.
Ketika azan Dhuhur terdengar, mertua Si Kabayan menyelesaikan pekerjaannya. Ia sangat keheranan karena tidak mendapati Si Kabayan bersamanya. "Dasar pemalas!" gerutunya. "Ia tentu telah pulang duluan karena malas membawa karung berisi kacang koro yang berat!"
Mertua Si Kabayan terpaksa menggotong karung berisi Si Kabayan itu kembali ke rumah. Betapa terperanjatnya ia saat mengetahui isi karung yang dipanggulnya itu bukan kacang koro, melainkan Si Kabayan!
"Karung ini bukan untuk manusia tapi untuk kacang koro!" omel mertua Si Kabayan setelah mengetahui Si Kabayan lah yang dipanggulnya hingga tiba di rumah.
Keesokan harinya mertua Si Kabayan kembali mengajak menantunya itu untuk ke kebun lagi guna memetik kacang-kacang koro. Mertua Si Kabayan masih jengkel dengan kejadian kemarin. Ia ingin membalas dendam pada Si Kabayan. Ketika Si Kabayan sedang memetik kacang koro, dengan diam-diam mertua Si Kabayan masuk ke dalam karung dan tidur. Ia ingin Si Kabayan memanggulnya pulang seperti yang diperbuatnya kemarin.
Dongeng Si Kabayan Cerita Rakyat Sunda Jawa Barat
Dongeng Si Kabayan Cerita Rakyat Sunda Jawa Barat
Adzan Dhuhur terdengar dari surau di kejauhan. Si Kabayan menghentikan pekerjaannya. Dilihatnya mertuanya tidak bersamanya. Ketika ia melihat ke dalam karung, ia melihat mertuanya itu tengah tertidur. Tanpa banyak bicara, Si Kabayan lantas mengikat karung itu dan menyeretnya.
Terperanjatlah mertua Si Kabayan mendapati dirinya diseret Si Kabayan. Ia pun berteriak-teriak dari dalam karung, "Kabayan! Ini Abah! Jangan engkau seret Abah seperti ini!"
Namun, Si Kabayan tetap saja menyeret karung berisi mertuanya itu hingga tiba di rumah. Katanya seraya menyeret, "Karung ini untuk tempat kacang koro, bukan untuk manusia.”
Karena kejadian itu mertua Si Kabayan sangat marah kepada Si Kabayan. Ia mendiamkan Si Kabayan. Tidak mau mengajaknya berbicara dan bahkan melengoskan wajah jika Si Kabayan menyapa atau mengajaknya bicara. Ia terlihat sangat benci dengan menantunya yang malas lagi banyak alasan itu.
Si Kabayan menyadari kebencian mertuanya itu kepadanya. Bagaimanapun juga ia merasa tidak enak diperlakukan seperti itu. Ia lantas mencari cara agar mertuanya tidak lagi membenci dirinya. Ditemukannya cara itu. Ia pun bertanya pada istrinya perihal nama asli mertuanya.
"Mengetahui nama asli mertua itu pantangan, Akang!" kata Nyi Iteung memperingatkan. "Bukankah Akang sudah tahu masalah ini?"
Si Kabayan berusaha membujuk. Disebutkannya jika ia hendak mendoakan mertuanya itu agar panjang umur, selalu sehat, murah rejeki, dan jauh dari segala mara bahaya. "Jika aku tidak mengetahui nama Abah, bagaimana nanti jika doaku tidak tertuju kepada Abah dan malah tertuju kepada orang lain?"
Nyi Iteung akhirnya bersedia memberitahu jika suaminya itu berjanji untuk tidak menyebarkan rahasia itu. katanya, "Nama Abah yang asli itu Ki Nolednad. Ingat, jangan sekali-kali engkau sebutkan nama Abah itu kepada siapa pun!"
Setelah mengetahui nama ash mertuanya, Si Kabayan lantas mencari air enau yang masih mengental. Diambilnya pula kapuk dalam jumlah yang banyak. Si Kabayan menuju lubuk, tempat mertuanya itu biasa mandi. Ia lantas membasahi seluruh tubuhnya dengan air enau yang kental dan menempelkan kapuk di sekujur tubuhnya. Si Kabayan kemudian memanjat pohon dan duduk di dahan pohon seraya menunggu kedatangan mertuanya yang akan mandi.
Ketika mertuanya sedang asyik mandi, Si Kabayan lantas berseru dengan suara yang dibuatnya terdengar lebih berat, "Nolednad! Nolednad!"
Mertua Si Kabayan sangat terperanjat mendengar namanya dipanggil. Seketika ia menatap arah sumber suara pemanggilnya, kian terperanjatlah ia ketika melihat ada makhluk putih yang sangat menyeramkan pada pandangannya. "Si siapa engk ... engkau itu?" tanyanya terbata-bata.
"Nolednad, aku ini Kakek penunggu lubuk ini." kata Si Kabayan. "Aku peringatkan kepadamu Nolednad, hendaklah engkau menyayangi Kabayan karena ia cucu kesayanganku. Jangan berani-berani engkau menyia-nyiakannya. Urus dia baik-baik. Urus sandang dan pangannya. Jika engkau tidak melakukan pesanku ini, niscaya engkau tidak akan selamat!"
Mertua Si Kabayan sangat takut mendengar ucapan 'Kakek penunggu lubuk' itu.Ia pun berjanji untuk melaksanakan pesan 'Kakek penunggu lubuk' itu.
Sejak saat itu mertua Si Kabayan tidak lagi membenci Si Kabayan. Disayanginya menantunya itu. Dicukupinya kebutuhan sandang dan pangan Si Kabayan. Bahkan, dibuatkannya pula rumah, meski kecil, untuk tempat tinggal menantunya tersebut.
Setelah mendapatkan perlakuan yang sangat baik dari mertuanya, Si Kabayan juga sadar akan sikap buruknya selama itu. Ia pun mengubah sikap dan perilakunya. Ia tidak lagi malas-malasan untuk bekerja. Ia pun bekerja sebagai buruh. Kehidupannya bersama istrinya membaik yang membuat istrinya itu bertambah sayang kepadanya. Si Kabayan juga bertambah sayang kepada Nyi Iteung seperti sayangnya kepada mertuanya yang tetap baik perlakuan terhadapnya. Mertuanya tetap menyangka Si Kabayan sebagai cucu 'Kakek penunggu lubuk'. Ki Nolednad sangat takut untuk memusuhi atau menyia-nyiakan Si Kabayan karena takut tidak akan selamat dalam hidupnya seperti yang telah dipesankan 'Kakek penunggu lubuk'!
tag: dongeng sunda, dongeng kancil, dongeng bahasa inggris, dongeng rakyat, dongeng cinderella, dongeng si kancil, dongeng anak sebelum tidur, dongeng adalah, dongeng fabel, dongeng putri salju, dongeng, dongeng anak, dongeng anak bergambar, dongeng anak islami, dongeng anak pendek, dongeng abu nawas, dongeng anak singkat, dongeng anak durhaka, dongeng anak islam, dongeng anak bahasa inggris, dongeng a rabbit and twenty crocodiles, dongeng a young queen, dongeng a little princess, dongeng a christmas carol, dongeng a kind rabbit, dongeng a forest of fables, dongeng a rabbit and twenty crocodile, dongeng a little mermaid, dongeng a dog and his reflection, dongeng a little match girl, dongeng bahasa sunda, dongeng binatang, dongeng bahasa inggris singkat, dongeng bahasa sunda situ bagendit, dongeng bahasa jawa, dongeng bawang merah bawang putih, dongeng batu menangis, dongeng bahasa sunda si kabayan, dongeng bahasa indonesia, dongeng b sunda, dongeng b inggris, dongeng b.inggris singkat, dongeng b jawa, dongeng b.indonesia, dongeng b inggris dan artinya, dongeng b.inggris dan terjemahannya, dongeng b sunda sangkuriang, dongeng b.sunda si kabayan, dongeng b.inggris pendek, dongeng cerita rakyat, dongeng cinta, dongeng cerita
dongeng cinderella dalam bahasa inggris, dongeng cindelaras, dongeng cerpen, dongeng cerita pendek, dongeng ciung wanara, dongeng candi prambanan, dongeng si kabayan, dongeng c rawing, cerita dongeng, dongeng dalam bahasa inggris, dongeng danau toba, dongeng dalam bahasa sunda
dongeng disney, dongeng dari jawa barat, dongeng dalam bahasa inggris dan artinya, dongeng dari jawa tengah, dongeng dongeng, dongeng doraemon, dongeng dinosaurus, dongeng d'kabayan, dongeng di jawa barat, dongeng d indonesia, download dongeng d'kabayan, kumpulan dongeng d'kabayan, dongeng eyang putih, dongeng eropa, dongeng elsa

Senin, 02 Januari 2017

ENTONG GENDUT DARI BATU AMPAR

Pajak seyogianya diambil seperlima dari hasil panen. Bagian itu bisa berwujud padi, palawija, atau hasil pertanian lainnya, semuanya harus diserahkan kepada tuan tanah. Setelah tahun 1912, tuan tanah tidak mau lagi menerima bagian pajaknya. Dia minta kenaikan dua kali lipat. Alasannya, antara lain karena hasil panen jauh lebih bagus dari musim lalu. Dengan perbaikan sistem irigasi dari sungai ke sawah-sawah membuat hasil panen berlipat ganda, serta akibat pengukuran ulang. Tidak diremehkan pula kegigihan para mandor melakukan kontrol menjelang potong padi.
Umumnya para petani keberatan. Kenaikan 20% bukan hal ringan. Pajak yang berat. Para petani usul agar pajak itu diganti dengan sewa tanah. Akan tetapi, tuan tanah menolak sebab dialah yang berkuasa. Jadi, dia pulalah yang menentukan. Mereka yang merasa keberatan lebih baik pindah ke gunung saja.
Praktek-praktek busuk para mandor beserta centeng-centengnya di sawah waktu menimbang padi sangat meresahkan para petani. Kalau menimbang padi untuk pajak tuan tanah dilebih-lebihkan. Pihak petani dirugikan terus. Merekalah yang selalu menerima bagian paling buruk dan paling sedikit.
Kegiatan lain yang meresahkan para petani adatah “kompenian”, yaitu kerja bakti tanpa upah untuk kepentingan para tuan tanah. Para petani dan warga desa, laki-laki dewasa pada umumnya, bersungut-sungut. Mereka sering berbisik-bisik atau berunding sembunyi-sembunyi untuk melakukan perlawanan.
“Patahkan saja lehernya!”
Salah seorang petani dan warga desa lainnya menyambut dengan bersemangat, “Ya, nanti kita patahkan lehernya!”
Suasana makin panas.
Tuan tanah tahu suasana panas itu. Para petani dan warga desa tidak main-main. Oleh karena itu, permintaan agar pajak diganti dengan sewa tanah diluluskan. Akan tetapi, banyak petani yang akhirnya tidak mampu membayar. Barang-barang mereka dirampas mandor dan diserahkan kepada tuannya. Kalau tetap tidak bisa membayar sewa tanah, atau tidak ada lagi barang untuk menutup, rumah harus dijual. Pembelinya tuan tanah juga dengan harga amat murah.
Tuan tanah sering hanya mendapat rumah rusak. Dia lalu memerintahkan mandor dan para centeng untuk membakar. Petani-petani malang itu makin sengsara. Sejak itu suasana semakin buruk.
Pada tanggal 14 Mei 1914 ada suatu peristiwa, yaitu Taha dihadapkan ke pengadilan. Dia petani dari Batuampar. Dia diputuskan pengadilan harus membayar pajak sebesar 7 gulden. Kalau tidak bisa membayar, rumahnya akan segera disita.
Kemudian, Taha bercerita kepada kawan-kawannya. Mereka berkumpul di kebun Jaimin, tidak jauh dari rumah Taha, Orang-orang itu diberi semangat oleh Entong Gendut. Lalu, mereka berteriak bahwa putusan itu tidak adil.
Kenyataannya, tiga hari kemudian rumah Taha disita, Tuan tanah hanya membayar 4 1/2 gulden. Untuk melunasi utang pajak saja masih kurang. Gema tidak puas melanda Batuampar, Entong Gendut dan kawan-kawannya marah sekali. Namun, untuk melakukan perlawanan terhadap tuan tanah, Para mandor, dan centengnya, masih dirasa berat bagi Entong Gendut. Dia dan kawan-kawannya harus mempersiapkan din terlebih dulu, antara lain dengan belajar dan berlatih silat. Entong Gendut sebagai pelatih karena sejak dulu dia dikenal sebagai pendekar.
Entong Gendut dibantu Modin dan Maliki. Mereka dari Batuampar juga. Anggota perkumpulan silatnya semula hanya beberapa gelintir orang, tetapi akhirnya bertambah, mencapai lebih dari 400 orang. Di antaranya yang bersungguh-sungguh adalah Haji Amat Awab, Said Keramat, Nadi, dan Dullah. Orang-orang Arab ada juga yang ikut, antara lain Ahmad Alhadat, Said Muksin Alatas dari Cawang, dan Alaidrus dari Cililitan.
Peristiwa berikutnya terjadi di Vila Nova, rumah mewah milik Lady Rollinson di Cililitan Besar. Malam itu tanggal 5 April 1916 berlangsung pesta amat meriah. Hiburan untuk rakyat sekitar juga semarak. Tuan Ament pemilik tanah luas di Tanjung Timur datang dengan mobilnya. Sebelum sampai di jembatan, sekelompok orang tidak dikenal melempari mobilnya dengan batu. Tuan Ament tidak mempersoalkan kaca belakang mobilnya yang pecah dan
penyok-penyok itu. Dia bergegas masuk ke pelataran rumah Lady Rollinson. Di situ dia bergabung dengan tamu-tamu terhormat lainnya. Dia ikut menyaksikan hidangan seni berupa musik dan tari-tarian yang menyenangkan. Dia merasakan nikmatnya wiski, gurihnya daging kalkun, dan semerbaknya panggang babi. Dia bertukar pengalaman dengan kawan-kawannya yang sederajat. Ada tuan tanah Kemayoran, tuan tanah Pondok Gede, para wedana, serta tidak ketinggalan pula noni-noni bermata biru berambut pirang dan sinyo-sinyo yang tertawa-tawa kecil dan agak malu-malu.
Di luar halaman berpagar tinggi itu rakyat menonton hiburan gratis seperti topeng dan wayang kulit. Mereka berjubel. Sekali-sekali mereka yang berada di luar pagar itu memperhatikan pemandangan pesta di halaman rumah Lady Rollinson.
Pesta di dalam makin menghangat. Pasangan-pasangan berdansa diiringi musik. Lalu, mendekatlah seorang pelayan kepada Lady Rollinson.
“Bagaimana, Tija?” tanya nyonya majikannya. “Saya sudah tahu, Nyonya.”
“Jadi, benar Entong Gendut pimpinannya?”
“Tidak salah, Nyonya.”
“Dia pula yang menggerakkan orang untuk melempari mobil tuan Ament?”
“Ya, Nyonya.”
Lady Rollinson mendekati Tuan Ament dan menganjurkan agar dia melapor ke komandan polisi dengan cepat.
“Tentu saja, Lady Rollinson,” jawab Tuan Ament, “pada waktu yang diperlukan saya bisa bertindak cepat. Sekarang tenang saja dulu.”
Tiba-tiba tetabuhan di luar pagar berhenti. Orang-orang yang berjualan makanan dan minuman
menutup kegiatannya. Para penonton bubar dan pulang ke rumah masing-masing. Seketika sepi dan lampu-lampu keramaian dimatikan. Hal itu membuat tamu-tamu yang berpesta di rumah Lady Rollinson mulai berpikir, jangan-jangan bahaya mengancam. Daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, lebih baik mereka minta diri kepada nyonya rumah. Mereka tergesa-gesa pulang dengan bendi atau mobil. Lady Rollinson ikut gelisah dan marah. Dia segera lapor kepada komandan polisi dan berkeluh kesah kepada residen.
Sementara itu, pengaruh Entong Gendut dan pembantu-pembantu dekatnya makin kuat. Apa yang dikatakan Entong Gendut diikuti semua oleh warga Batuampar dan sekitarnya. Wedana Meester Cornelis didatangi bawahannya yang menyampaikan laporan. Ia mengatakan bahwa pengaruh bek di kelurahan tidak bermanfaat lagi. Telinga dan mulut Entong Gendut ada di mana-mana.
Wedana Meester Cornelis dikawal komandan pasukan serta polisi melakukan peninjauan ke Batuampar. Di depan rumah yang diduga milik Entong Gendut, dia langsung memerintahkannya keluar, kalau tidak pintu akan didobrak. Entong Gendut menjawab dari dalam akan bersembahyang dulu. Selesai sembahyang, Entong Gendut menampakkan diri. Dia berjubah putih, di dadanya tersembul keris, dan tangannya memegang tombak panjang. Para pengawalnya bersorban dan bertombak berdiri di belakangnya.
“Aku raja dan aku tidak mau tunduk kepada siapa pun. Aku tidak mau mengikuti pimpinan hukum, apalagi buatan Belanda.”
Wedana Meester Cornelis berunding dengan opsir-opsir polisi. Sementara itu Entong Gendut meneruskan bicaranya, “Wedana, ketahuilah. Aku amat malu kepada kawan-kawanku para tuan tanah. Mereka telah membakar rumah penduduk miskin. Apa salah mereka? Hanya karena mereka petani miskin dan tidak mampu membayar pajak serta sewa tanah yang mahal, lalu rumah mereka dihanguskan? Amat disayangkan!”
Para pengikut Entong Gendut lainnya keluar dari semak-semak. Mereka bersenjatakan panah dan tombak. Wedana dan para pengawalnya kaget sekali. Dia lalu memerintahkan untuk melepaskan tembakan, ramailah kampung Batuampar. Tidak sedikit polisi kena bacok dan tertembus anak pariah. Entong Gendut bersuara lantang. Teriakan-teriakan Allahu Akbar menggema.
“Amuk, amuk!” teriak anak buah Entong Gendut sambil melemparkan tombak dan mengayunkan pedang. Serdadu Bala bantuan datang. Anak buah Entong Gendut banyak yang bergelimpangan. Beberapa rumah terbakar, penduduk yang tua, kaum perempuan, dan anak-anak diungsikan. Akan tetapi, korban warga Batuampar semakin banyak juga.
Entong Gendut terluka. Dadanya tertembus peluru, darah segar mewarnai jubahnya yang putih. Anak buahnya mengerumuninya. Wedana Meester Cornelis memerintahkan komandan pasukan untuk mengikat tangan Entong Gendut. Lalu, dia dinaikkan ke tandu dan diangkut ke Rumah Sakit Kwini. Namun, di tengah perjalanan, Entong Gendut tidak bernapas lagi. Para pengikutnya dikejar-kejar polisi. Mereka terus dicari sampai ke Condet dan Tanjung Timur. Setelah tertangkap, mereka dimasukkan ke penjara.

SI JAMPANG

Bayi yang masih merah itu lahir dan menangis keras sekali. “Syukur anak pertamaku sudah lahir,” kata ayahnya dengan gembira. Setelah seminggu, anak itu ditimang-timang. Ibunya memperhatikan dengan khawatir.
“Selagi masih dalam kandungan saja sudah nakal, banyak geraknya di dalam perut. Setelah lahir demikian wujudnya. Ah, puas aku punya anak demikian sehat. Tetapi, aku tidak mau lagi punya anak. Cukup seorang ini saja, Bang. Legalah setelah dia lahir. Dia berteriak keras-keras pertanda apa, Bang?”
“Pertanda dia anak yang gagah berani.”
“Benar itu, Bang?”
“Anak keturunan Banten memang begitu.”
“Abang selalu mengandaikan asal Abang saja. Dia juga karena ibunya yang dari Jampang ini, daerah Sukabumi asli!”
“Sudahlah tak usah berdebat. Pokoknya dia sekarang jadi anak yang gagah.”
Atas persetujuan mereka, setelah berdebat ramai, bayi yang berumur seminggu itu diberi nama si Jampang. Bayi itu tumbuh menjadi seorang pemuda yang benar-benar gagah, ganteng, tidak memalukan silatnya, dan pandai memainkan golok. Di pesta-pesta keramaian selalu menjadi incaran mata para perawan. Setelah akil balig dia dinikahkan. Selanjutnya, si Jampang dengan keluarganya tinggai di Grogol, Depok.
Sayang, istrinya yang berasal dari Kebayoran Lama itu tidak berumur panjang. Sejak itu, Jampang hanya hidup dengan anak laki satu-satunya. Anak ini dikenal dengan nama Jampang muda. Dia tumbuh pula menjadi seorang anak muda yang tampan seperti ayahnya. Kadang-kadang saja dia pulang menemui ayahnya karena dia lebih senang tinggal di pesantren dengan kawan-kawannya.
Pada saat anaknya di rumah itulah ayahnya bercakap-cakap dengan kocak.
“Tong, kamu harus lebih baik dari ayahmu. Jadi orang yang terpandang dan dihormati. Ke mana-mana diundang untuk memberikan ceramah agama. Siapa yang bangga kalau bukan ayahmu ini?”
“Tapi ayah juga harus tidak bikin malu lagi. Yang alim, Yah, seperti biasanya orang-orang Banten. Masak kerja Ayah tiap hari merampok terus? Tidak bosan dikejar-kejar polisi? Di pesantren sudah dibicarakan orang terus. Meskipun tidak terus terang di telinga saya, tetapi darah saya mendidih. Bukan lantaran marah, tetapi malu sekali, Yah.”
“Kamu tidak perlu memberi nasihat kepada Ayah. Kamu masih anak kemarin, Tong. Sebenarnya kamu pulang punya maksud apa?” tanya ayahnya. Jampang muda hanya tersenyum, tidak berkata apa pun.
“Saya tidak mau mengaji lagi, Yah.”
“Payah, kamu Tong. Tadi memberi nasihat seperti kiai, sekarang tidak mau mengaji lagi. Kamu mau jadi apa? Mau jadi tukang pukul seperti ayahmu ini?”
Si Jampang muda menggelengkan kepala, “Pikiranmu cepat sekali berubah, Tong. Kamu tidak mau sekolah? Lalu? Kalau kamu tidak mau sekolah, lebih balk nikah saja.” Anaknya kaget.
“Saya tidak mau menikah, Yah. Lebih baik sekolah saja. Kalau Ayah mau menikah lagi saya tidak melarang.”
“Ha ha ha,” Jampang tertawa terbahak-bahak, “kalau kamu mau ibu lagi, nanti Ayah carikan.”
Jampang mempunyai seorang kawan di Tambun, bernama Sarba. Di rumah Sarba ini Jampang meneriakkan salam, “Assalamualaikum.”
“Alaikum salam,” jawab orang yang diberi salam dari dalam rumah. Ternyata yang muncul adalah Ciput, pembantu Pak Sarba.
“Pak Sarba ada?” tanya Jampang.
Ciput menjawab sedih, bahwa Pak Sarba sudah meninggal dunia.
“Kasihan, ya,” kata Jampang menyesal.
“Jadi, Mayangsari menjanda, Put?”
Ciput menganggukkan kepala.
“Kasihan,” kata Jampang sekali lagi, “tidak disangka.”
Jampang teringat Sarba. Sahabatnya ini orang balk. la mengenalnya sejak kanak-kanak, sama-sama dari Banten. Lalu, menikah ban punya anak bernama si
Abdih. Anak lelaki juga seumur Jampang muda. Tidak lama kemudian Mayangsari keluar dari kamarnya. Melihat sahabat suaminya datang, dia jadi sedih. Dia mengulang cerita tentang Sarba yang sudah lama meninggal dunia.
“Waktu itu Bang Sarba sakit apa Mayang, kok saya tidak diberitahu?”
“Ceritanya panjang sekali, Jampang. Ketika abangmu belum punya anak, kita berdua pernah pergi ke Gunung Kepuh Batu. Ziarah ke makam sambil memohon agar diberi anak. Juru kuncinya bernama Pak Samat, menerima kedatangan kita berdua. Pak Samat membaca doa dan mantra sambil membakar kemenyan hingga keluar setan dari makam itu.”
“Seram juga Mayang. Saya tidak tahan kalau sendirian di makam begitu seramnya.”
“Mengejek terus Jampang. Saya teruskan ceritanya. Abangmu bertanya kepada setan itu. Apakah saya bisa punya anak? Setan itu manggut-manggut. Bang Sarba senang sekali mendengar akan dapat anak lelaki. Lalu dia janji, kalau sudah lahir jabang bayi, dia akan bawa sepasang kerbau ke makam Gunung Kepuh Batu!”
“Selanjutnya bagaimana, Mayang?”
“Saya dan abangmu pulang. Beberapa bulan kemudian saya mengandung. Kemudian, lahir anak laki-laki, itulah si Abdih. Saat berumur lima betas tahun, dia ingin sekolah, Tetapi, abangmu bingung karena sulit hidup. Lalu, abangmu mengajak saya dan Abdih ke Betawi. Abangmu mau menenteramkan hati saya dan anak lelakinya. Di sini abangmu sakit, lalu meninggal. Menurut dukun iantaran dia lupa janjinya dulu.”
Jampang termangu-mangu.
“Orang kalau akan meninggal ada-ada saja caranya, Mayang. Seperti abang saya itu. Mengajak pergi ke Betawi, tiba-tiba pergi. Dia orang baik, Mayang.”
Jampang sedih. Lalu dia bertanya di mana si Abdih.
“Sekolah di Bandung,” kata Mayangsari.
“Mayang tidak perlu bingung memikirkan Abdib,” kata Jampang.
“Mang mungkin tidak bingung, Jampang. Sekolah di Bandung itu perlu biaya besar. Kan uangnya susah.”
“Anak sekolah di Bandung biar saja, jangan ikut dipikir,” kata Jampang lagi, “pokoknya nanti saya yang akan mengurus dia.”
“Kalau bukan saya yang mengurus siapa lagi, Jampang?” kata Mayangsari. “Makan dan pakaiannya, semua dari saya. Harta sudah babis, tak ada lagi yang tersisa.”
“Begini, Mayang” kata Jampang akbirnya, “Mayang sudah menjadi janda dan saya duda, lebih baik kita menikah, Klop. Mau apa lagi?”
Mayangsari kaget, lalu marah besar.
“Jangan bicara sembarangan. Jampang!” Mayangsari mulai marah. “Meskipun saya janda dan tidak punya suami lagi, tetapi tidak bisa sembarangan orang menghina. Kalau kamu ingin menikah, nikahlah, urus sendiri dirimu. Mau cari janda, perawan, atau banci, itu urusanmu, tetapi jangan dengan saya. Tidak akan pantas!”
Jampang malu sekali. Dia cepat keluar dari rumah itu. Di balaman depan dia melihat Mayangsari menutup pintu rapat-rapat, tanda kalau Jampang tidak bakal diterima lagi di rumahnya.
Di jalan, Jampang bertemu Ciput.
“Saya malu sekali, Put!” Jampang menceritakan sedikit pengalamannya dengan Mayangsari. “Padahal saya senang sekali dengan Mayang. Dia masih cantik. Bekas istri teman sendiri. Apa salahnya? Itu tandanya mengbormati kawan yang sudab almarhum, tetapi tiba-tiba dia marah besar. Kalau dia menikah dengan saya hartanya tidak akan pergi kemanamana. Setuju, Put’?”
Pembantu perempuan yang tidak pernah lepas dari Mayangsari itu dibujuk Jampang.
“Pokoknya nanti beres, Ciput,” janji Jampang. Tiba-tiba pintu rumab terbuka. Tampak Mayangsari makin marah.
“Ciput, masuk!” teriaknya.
Pembantunya menurut. Dia masuk rumab. Langsung ke biliknya di belakang.
Lalu, Mayangsari berteriak sambil melotot ke arah Jampang.
“Pergi, Jampang! Pergi!” Tetapi, Jampang masih tetap berdiri di tempatnya. Mayangsari makin berapi mendekati Jampang. “Jangan ikut campur masalab saya lagi, Jampang. Pergi kata saya!”
Belum sempat berkata apa-apa, Mayangsari sudah meninggalkan Jampang. Dia menutup pintu dan jendela-jendela rumab. Tidak peduli pada Jampang yang terpana.
“Sial sekali saya hari ini. Mayangsari, kamu akan menyerah. Kamu belum tabu siapa saya!”
Jampang berjalan lesu. Untuk mendapat kesenangan memang harus bekerja keras. Juga untuk mendapatkan perempuan secantik Mayangsari. Umur Mayangsari masih sekitar tiga puluh tahun. Jampang menuju rumah Sarpin, keponakannya, kebetulan ada di rumab.
“Saya perlu seorang dukun, Pin,” katanya kepada Sarpin.
Sarpin beran. “Buat apa, Mang?”
Jampang lalu menceritakan kembali pengalamannya dengan Mayangsari.
“Memang cinta sekali kalau begitu, Mang.”
“Jangan banyak bicara kamu,” tukas Jampang, “owl dukunnya!”
“Perkara dukun gampang, Mang. Saya tabu benar dukun yang manjur, Namanya Pak Dui dari kampung Gabus. Pintar sekali. Pokoknya orang yang diguna-guna pasti akan terkena. Setuju ke rumahnya, Paman?”
“Makin cepat makin bagus,” jawab Jampang.
Malam itu juga mereka pergi. Mereka berjalan membawa dua obor. Satu di tangan Jampang dan satu di tangan Sarpin. Pakaian mereka hitam-hitam. Golok terselip di pinggang. Di leher terkalung sarung sebagai penahan dingin udara malam. Mereka berjalan melewati pematang-pematang sawah dan menerobos kebun-kebun orang, serta melewati kuburan yang sepi. Obor mereka terus menyala. Sering obor itu ditunggingkan ke bawah, agar minyaknya turun ke api sebingga nyala api lebib besar. Akhirnya, sampailah mereka di rumah Pak Dul, dukun kampung Gabus yang terkenal.
“Saya minta guna-guna, Dukun, agar Mayangsari tergila-gila kepada saya,” kata Jampang terus terang tanpa malu-malu.
Jampang juga menyerahkan salam tempel ke tangan Pak Dul. Dengan gembira dukun memasukkan isi salam itu ke dalam kantong bajunya. Dia baca jampi-jampi. Mulutnya komat-kamit. Tidak lama kemudian Jampang diberi guna-guna. Sebelumnya, Jampang diberi tahu cara penggunaannya. Lalu, Jampang dan Sarpin pulang tergesa-gesa.
Pikiran Jampang selalu ke Mayangsari. Tidak peduli kaki sebelahnya terperosok ke dalam lumpur.
Mayangsari menggodanya, membawanya ke alam mimpi. Keponakannya repot karena jalannya jauh tertinggal di belakang. Guna-guna itu sudah diletakkan di rumab Mayangsari oleb Jampang. Begitu terkena, Mayangsari langsung gila. Dia sering tertawa-tawa. Berpakaian semaunya, tidak malu sama sekali, terutama kepada setiap lelaki yang lewat di depan rumahnya. Ketika Abdih pulang dari Bandung, kontan Mayangsari mencium dan memeluknya.
“Jampang! Jampang yang tampan!” Mayangsari merayu-rayu.
Abdih kaget serta sedih sekali melibat perubahan ibunya.
“Mari Jampang! Mari peluk lebib erat!”
Anaknya segera menyadarkan ibunya.
“Bu Bu! Sadar. Bu!”
Ciput pembantunya yang setia datang mendekat. “Kenapa Ibu sampai begini, Ciput?”
“Barangkali gara-gara Jampang,” kata Ciput, “dia pernah ke sini dan mengajak menikah ibumu, tapi ditolak. Dia bilang lebib baik gila daripada menikah dengan Jampang.”
“Jadi. Ibu langsung begini?”
Ciput mengangguk-angguk.
“Ibu seperti kena guna-guna,” kata Abdih, “yang mengguna-guna tentunya Mang Jampang. Sunggub bikin malu. Saya malu sekaii. Dukun mana yang bisa
menyembuhkan ibu, Ciput?”
Ciput belum pernah tahu soal guna-guna. Jadi, dia tidak bisa menjawab. Abdih bertanya ke sana kemari akhirnya dapat berita. Pak Du di kampung Gabus. Karena dukun itu sendiri yang buat, dengan tidak menemui kesulitan Ala pula yang mencabut guna-gunanya. Mayangsari seketika sembuh. Tidak ingat lagi kepada Jampang.
Sesudah itu Abdib mencari Jampang. Dia marah sekali.
“Bisa atau tidak bisa, saya barus menikab dengan Ibumu, Abdib,” kata Jampang menegaskan.
“Saya tidak melarang, Mang Jampang,” jawab Abdih yang ketakutan juga, “tetapi ada syaratnya, Mang barus menyerahkan sepasang kerbau sebagai emas kawinnya.”
“Saya tidak keberatan, Abdib. Saya akan usahakan.”
Abdib pulang menyampaikan kesanggupan Jampang kepada ibunya.
Dari mana dapat kerbau sepasang? Kerbau sepasang tidak gampang, pikir Jampang. Namun, dia segera ingat Haji Saud di Tambun. Dia kaya sekali. Sawahnya luas. Kerbau dua ekor belum apa-apa. Ke tempat itulah, Jampang dan Sarpin perqi merampok dengan mudah. Ketika dia dengan Sarpin akan ke luar dari pintu desa, sekawanan polisi sudah mengepung. Mereka menunjukkan laras-laras senapan ke arab Jampang dan Sarpin. Tertangkaplah Jampang. Jampang pun tidak bisa melakukan perlawanan.
Orang-orang kaya, tuan-tuan tanah, serta pejabat pemerintah jajahan merasa gembira melihat Jampang telab dipenjara. Sebaliknya, rakyat kecil, para petani, dan mereka yang menderita amat sedib. Jampang tidak sekadar merampok. Boleh dikata dia sebagai penolong rakyat kecil. Mereka sering mendapat pembagian hasil rampokan dari orang-orang kaya dan tuan-tuan tanah yang tamak. Rakyat kecil itu makin sedib ketika mendengar bahwa Jampang telab mendapat hukuman mati di Betawi.